Kakao Indonesia: Produksi, Tantangan dan Peluang
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki prospek menjanjikan. Tanaman ini tumbuh dengan baik di bawah matahari tropis Indonesia. Indonesia pada tahun 2020, memperoleh predikat sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia, hanya terpaut oleh Pantai Gading dan Ghana dan melampaui Nigeria dan Kamerun yang menduduki peringkat ke-4 dan ke-5. Produksi kakao di Indonesia pada tahun 2020 sebesar 659,7 ribu ton. Produksi terbesar kakao Indonesia berasal dari Pulau Sulawesi dengan persentase mencapai 75% dari total produksi kakao Indonesia. Wilayah produksi terbesar kakao meliputi meliputi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Lampung, Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.
Produksi Kakao Indonesia
Pada tahun 2022, produksi kakao mencapai 667,3 ribu ton. Jumlah ini bukanlah yang tertinggi sepanjang sejarah. Puncak produksi tercatat pada tahun 2012 dengan angka 740,5 ribu ton, tetapi sayangnya, produksi kakao kemudian mengalami penurunan walau sempat diprediksi akan meningkat menjadi 706 ribu ton pada tahun 2022.
Antara tahun 2009 hingga 2013, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkebunan meluncurkan Program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao). Program ini memusatkan perhatian pada peremajaan, rehabilitasi, dan intensifikasi kakao. Melalui Gernas Kakao, luas lahan pertanaman kakao di Indonesia meningkat sebanyak 11,36%, dan bahkan perkebunan rakyat meningkat sebesar 12,44%.
Selama periode ini, Indonesia berhasil meningkatkan produksi kakao secara signifikan, bahkan tercatat mengekspor kakao ke Malaysia, Amerika Serikat, Belanda, dan Tiongkok. Meskipun ada tantangan, pertumbuhan kakao Indonesia adalah bukti kekuatan perkebunan dalam negeri dan potensi untuk pertumbuhan lebih lanjut di masa depan.
Kendala Menjaga Produksi Kakao
Kendala dalam menjaga produksi kakao Indonesia perlu didukung dengan berbagai program yang mendukung guna mengantisipasi penurunan produksi. Tercatat pada tahun 2019, angka produksi mencapai 659 ribu ton, dan hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang perlu menjadi fokus perhatian. Produktivitas tanaman kakao di Sulawesi Selatan, sebagai salah satu penghasil utama kakao pernah menurun di tahun 2009 hingga mencapai 0,77 ton per hektar, dan terus menurun hingga di tahun 2018 hingga menjadi 0,61 ton per hektar. Penurunan produksi kakao di Indonesia memiliki dampak yang meluas. Bukan hanya ekspor biji kakao yang terpengaruh, tetapi juga pasokan biji kakao untuk industri pengolahan dalam negeri. Kondisi ini memaksa pemerintah untuk membuka pintu impor biji kakao demi memenuhi kebutuhan industri pengolahan kakao di dalam negeri.
Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap penurunan produksi ini, diantaranya menurunnya kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola perkebunan kakao, masalah kondisi tanah yang menunjukkan gejala 'letih' (soil fatigue), penuaan tanaman kakao, serangan hama penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD), serta rendahnya penggunaan pupuk bahkan ditemui petani yang tidak mengaplikasikan pupuk pada tanaman kakao.
Menurut Indonesia Investments, 90 persen produksi kakao di Indonesia berasal dari petani dengan keterbatasan finansial dan peralatan yang terbatas. Kondisi ini turut berperan dalam penurunan produksi. Tentu kondisi ini juga turut menyumbang jumlah produksi kakao yang semakin menurun. Pasokan biji kakao dalam negeri yang kuat, maka Indonesia akan mampu menghadapi tantangan ini dengan lebih baik dan memastikan industri kakao tetap berkelanjutan.
Kualitas Biji Kakao Indonesia
Kakao Indonesia, dengan segala potensinya, masih menghadapi tantangan dalam hal mutu biji kakao. Mutu yang bervariasi, kurangnya fermentasi, kelembaban yang tidak cukup, ukuran biji yang tidak seragam, tingginya kadar kulit, keasaman yang tinggi, dan rasa yang tidak konsisten, semuanya berkontribusi pada harga yang relatif rendah di pasar global. Biji kakao Indonesia sering dikenakan potongan harga dalam perdagangan internasional, meskipun kakao Indonesia memiliki keunggulan dalam kandungan lemak dan kemampuan menghasilkan bubuk kakao berkualitas.
Mutu biji dan harga jual kakao yang telah difermentasi lebih baik dibanding yang belum difermentasi dan patokan harga di pasar internasional didasarkan pada biji kakao yang telah difermentasi. Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang (BPSMB) Dinas Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan mencatat bahwa sekitar 86,09 persen mutu biji kakao yang dihasilkan di Indonesia tergolong rendah dan menerima potongan harga 10-15% dari harga pasar.
Melansir Siaran Pers Kementerian K¬oordinator bidang Perekonomian, pada tahun 2020 ekspor kakao Indonesia dalam bentuk biji sebesar 6,1% dan sisanya 93,9% dalam bentuk olahan. Produk olahan kakao yang diekspor Indonesia antara lain cocoa liquor/paste, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder.
Upaya Bangkitkan Produksi Kakao Indonesia
Perhatian pemerintah terhadap produksi dalam negeri menjadi langkah awal yang penting. Salah satu strategi yang diterapkan adalah penggunaan bibit-bibit kakao varietas unggul, yang telah berhasil diimplementasikan di Sulawesi Tenggara pada tahun 2020. Petani kakao di wilayah ini telah menerima bibit varietas unggul dari Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian untuk dibudidayakan, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas biji kakao.
Selain itu, penggunaan varietas yang tahan terhadap serangan hama seperti penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD) juga menjadi kunci untuk mencegah potensi kerugian produksi kakao.
Investasi sumber daya manusia juga tidak kalah penting. Bimbingan teknis, pelatihan bagi individu yang terlibat dalam produksi kakao membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi dalam proses produksi. Kesejahteraan petani kakao harus menjadi perhatian utama, terutama mereka yang menghadapi masalah finansial. Kelengkapan peralatan dan infrastruktur yang mendukung produksi kakao oleh petani kecil juga harus disediakan.
Melalui langkah-langkah inovatif ini, Indonesia dapat menghadapi tantangan produksi kakao dengan lebih baik dan memastikan bahwa kakao tetap menjadi aset berharga yang mendukung keberlanjutan dan kesejahteraan bagi petani dan industri pengolahan kakao di dalam negeri.
Upaya Peningkatan Mutu Biji Kakao
Langkah awal yang penting dalam memajukan industri kakao di Indonesia adalah memberikan perhatian khusus pada produksi kakao dalam negeri. Pengusaha perkebunan kakao perlu berfokus pada peningkatan mutu biji kakao yang mereka hasilkan.
Salah satu masalah umum pada mutu biji kakao adalah biji kakao yang tidak atau kurang terfermentasi dan hal ini terutama terjadi di perkebunan kakao rakyat. Fermentasi yang baik pascapanen adalah kunci untuk menghasilkan biji kakao berkualitas tinggi yang dapat bersaing di pasar global. Proses fermentasi yang tepat dapat meningkatkan harga jual dan pendapatan petani perkebunan kakao rakyat.
Pemerintah, melalui Badan Standardisasi Nasional (BSN), telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Biji Kakao, yaitu SNI 2323-2008-Amd1-2010 tentang Biji Kakao sebagai acuan mutu biji kakao Indonesia. Standar mutu ini adalah panduan penting untuk pengawasan dan pengendalian mutu. Semua biji kakao yang akan diekspor harus memenuhi standar mutu ini, dan ini diawasi oleh lembaga pengawasan yang ditunjuk. Salah satu prasyarat menjaga mutu biji kakao tersebut adalah fermentasi.
Mutu biji kakao yang baik akan meningkatkan harga jual biji kakao Indonesia, kesejahteraan petani, dan kepercayaan industri pengolahan kakao dalam negeri. Dengan mutu biji yang baik, produksi dan ekspor biji kakao Indonesia bisa meningkat, dan ini akan memperkuat kepercayaan dari negara tujuan ekspor. Dengan komitmen pada mutu, Indonesia dapat meraih kesuksesan dalam industri kakao.
(sumber: tulisan disarikan dari beberapa sumber)
Penulis : Okt & Myk
Editor : Nng